Articles
Di tengah derasnya ekspansi industri yang seringkali meminggirkan masyarakat adat, suku Kokoda di Sorong justru menemukan cara untuk bertahan sekaligus melestarikan alam. Mangrove, yang kerap dipandang tak bernilai, mereka jadikan sumber penghidupan. Dengan pengetahuan lokal, masyarakat Kokoda menunjukkan bahwa ekonomi hijau tidak hanya bisa lahir dari teknologi canggih, tapi juga dari kebijaksanaan tradisional yang menjaga keseimbangan ekologi. Temukan bagaimana mangrove mengubah nasib sekaligus membalik stigma dalam artikel ini.
Orang-orang Marjinal sering dinisbatkan sebagai masyarakat yang tidak untuk ditiru. Mereka seringkali dikonotasikan sebagai sekumpulan orang terbelakang, bodoh, dan SDM rendah. Sasaran konotasi buruk kebanyakan menyasar ke masyarakat adat, yang selalu bersikap konservatif terhadap lingkungan tempat mereka tinggal.
Di tengah ancaman krisis lingkungan dan marginalisasi masyarakat adat, kisah masyarakat suku Kokoda di Kota Sorong, Papua Barat Daya, menyuguhkan pelajaran penting. Melalui pengetahuan lokal dan pemanfaatan ekosistem mangrove, mereka bukan hanya bertahan hidup, tetapi juga menunjukkan bahwa ekonomi hijau bisa dibangun dari bawah.
Eksploitasi alam secara besar-besaran di bumi Papua menjadikan masyarakat marjinal hidup dalam kesusahan. Menurut Walhi (2021) total terdapat 159 juta hektar lahan di Indonesia telah dikapling secara legal oleh korporasi. Sementara itu, masyarakat miskin dan adat harus bertahan hidup dengan sumber daya yang tersisa. Di tengah kondisi inilah, suku Kokoda menunjukkan bentuk resistensi yang cerdas: memanfaatkan mangrove secara berkelanjutan sebagai sumber ekonomi sekaligus konservasi.
Mangrove, Kokoda, dan Harapan yang Tumbuh dari Lumpur
Harapan untuk hidup di lingkungan yang rusak tetap menyala dalam nurani masyarakat adat Papua. Dengan kerusakan global yang masif seperti; pemanasan global, polusi, dan ekspansi industri ekstraktif semakin mendorong krisis ekologis di Indonesia. Namun di sela tekanan itu, kelompok-kelompok marjinal, seperti masyarakat suku Kokoda, menunjukkan ketahanan hidup melalui strategi adaptasi berbasis pengetahuan lokal. Temuan dari Pradana & Kadir (2023) menunjukkan kalau kelompok marginal sering memanfaatkan sisa sumber daya yang ditinggalkan oleh kelompok dominan untuk dijadikan sandaran hidup mereka.
Daerah pesisir yang berawa adalah daerah yang ditinggalkan oleh kelompok penguasa. Mangrove, yang kerap dianggap tidak memiliki nilai ekonomi, ternyata menjadi sumber utama kehidupan masyarakat pesisir. Walters (2003) bahkan menyebut bahwa hutan mangrove sering kali dianggap tidak layak untuk tempat tinggal maupun penghidupan. Indonesia memiliki kawasan mangrove terluas di Asia Tenggara (Kathiresan, 2012), namun masih belum banyak yang melihat potensi ekonominya bagi masyarakat lokal.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan realitas masyarakat suku Kokoda di Sorong, yang menjadikan mangrove sebagai sumber nafkah utama. Disini saya ingin menunjukkan bahwasanya sumber daya mangrove digunakan oleh banyak kelompok masyarakat pesisir untuk digunakan sebagai sumber pendapatan utama. Dengan mengambil contoh suku Kokoda di Sorong, Papua Barat Daya. Pengambilan contoh tersebut saya dasarkan pada penelitian yang telah saya lakukan sebelumnya pada tahun 2023 di Kota Sorong. Dalam tulisan ini saya berargumen bahwasanya pemanfaatan keanekaragaman hayati pada sumber daya mangrove merupakan representasi dari lapangan kerja hijau dan ketahanan ekonomi bagi masyarakat adat. Masyarakat Kokoda menjadikan pohon mangrove, kepiting, dan kerang sebagai sumber penghasilan harian. Aktivitas mereka mencerminkan praktik ekonomi hijau—atau green jobs—yang berbasis konservasi dan pengetahuan tradisional.
Kokoda dan Jalan Panjang Ketahanan Ekonomi
Papua yang kayaakan sumber daya alam nyatanya adalah tempat yang menyimpan banyak luka bagi warga lokal. Kota Sorong adalah tempat bagi berbagai etnis baik dari kalangan suku-suku Papua maupun non-Papua. Dikenal sebagai kota minyak, Sorong menjelma sebagai kota pengharapan bagi sebagian kalangan tanpa terkecuali. Mendorong berbagai masyarakat di sekitar Sorong berbondong-bondong melakukan urbanisasi ke Kota Sorong untuk mencari penghidupan yang lebih baik (Wahid, 2023).
Kokoda adalah suku asli dari Sorong Selatan. Banyak di antara mereka bermigrasi ke Kota Sorong dengan harapan kehidupan yang lebih baik. Namun, kenyataan urban tidak selalu sesuai harapan. Mereka mengalami marginalisasi, baik karena rendahnya akses pendidikan maupun stigma sosial sebagai "pemabuk" atau "pemalas."
Menurut Pradana & Kadir (2023), pekerjaan utama masyarakat Kokoda hanya dua: menjadi buruh bangunan dan menjual kayu mangrove. Ini sejalan dengan Bhowmik (2011) yang menjelaskan bahwa kelompok marjinal umumnya memiliki pilihan kerja yang terbatas. Dengan keterbatasan pendidikan dan modal, masyarakat Kokoda mengandalkan sumber daya mangrove untuk bertahan hidup.
Namun, ketergantungan ini tidak bersifat destruktif. Mereka menebang pohon mangrove dengan memperhatikan keberlanjutan: hanya memilih pohon dewasa, dengan batang lurus, dan diameter besar. Praktik ini turut menjaga ekosistem tetap produktif. Penelitian Ulat et al. (2020) melalui citra satelit bahkan menunjukkan bahwa kerapatan hutan mangrove di Sorong mengalami regenerasi alami secara berkala dalam siklus 1-2 tahun. Hal ini menunjukkan adanya hubungan dialektis antara masyarakat Kokoda dan hutan mangrove dalam mengatur ritme ekologi hutan mangrove itu sendiri.
Selain kayu, masyarakat Kokoda juga menangkap kepiting dan mencari kerang di kawasan mangrove. Mereka menggunakan pengamatan visual, pendengaran, dan perabaan untuk melacak keberadaan hewan-hewan tersebut. Praktik ini menunjukkan betapa tingginya kecerdasan ekologis dan kepekaan sensorik mereka terhadap lingkungan sekitar.
Untuk mencari kepiting dan kerang, mereka akan memanfaatkan perangkat indera mereka sebagai sensor untuk mencari keberadaan kedua spesies tersebut. Sebagai contoh ketika hendak mencari kepiting, mereka akan menggunakan indera penglihatan mereka dengan memperhatikan keberadaan kepiting yang sedang berkamuflase dengan lumpur di mangrove. Lain halnya dengan pencarian kerang, mereka akan menggunakan panca indera pendengaran dan peraba mereka untuk menyisir keberadaan kerang yang bersembunyi di dalam air payau dan lumpur. Kerang akan mengeluarkan suara tak…tak….tak…secara samar-samar. Serta akan menunjukkan gelembung air pada air payau (air mendidih).
Pengetahuan masyarakat lokal pada dasarnya disebabkan karena adanya sensitivitas, orientasi, dan kemampuan dalam membangun performa hubungan antara manusia dan lingkungan di sekitarnya melalui praktiknya (Lauer & Aswani, 2009).
Penghasilan dari penjualan kayu, kepiting, dan kerang ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pendidikan anak, serta biaya kesehatan. Dalam beberapa kasus, hasil tangkapan mereka bahkan dijual ke pedagang besar di kota, membuktikan bahwa aktivitas ekonomi masyarakat Kokoda juga turut menggerakkan ekonomi lokal Sorong.
Harmoni Ekologis dan Identitas Sosial
Semua yang ada di alam pada dasarnya berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Keterhubungan itu dikemas melalui penetahuan lokal masyarakat. Menurut Tim Ingold (dalam Lauer & Aswani, 2009), pengetahuan lokal lahir dari pengalaman langsung yang dinamis, bukan sekadar warisan. Hal ini tampak dalam praktik masyarakat Kokoda, yang memadukan pengamatan, pengalaman, dan kolaborasi sosial untuk menjaga mangrove sebagai sumber penghidupan.
Lebih dari itu, praktik ekonomi mereka juga melahirkan solidaritas sosial yang kuat. Hasil penebangan kayu dan tangkapan laut kerap dibagi kepada kerabat dan tetangga. Sistem berbasis gotong royong ini menumbuhkan ketahanan sosial, yang turut memperkuat daya tahan ekonomi komunitas dalam menghadapi tantangan kota.
Keterkaitan antara manusia dengan alam dapat menembus dimensi ruang dan waktu. Sebagai contoh, saat ini masyarakat Kokoda mayoritas berprofesi sebagai penebang kayu mangrove, pencari kepiting, dan kerang (Pradana & Kadir, 2023). Masyarakat Kokoda menganggap hutan mangrove kota adalah satu-satunya tempat yang dapat digunakan untuk mendapatkan pundi-pundi uang.
Kegiatan ekonomi ini juga membawa perubahan pada persepsi masyarakat terhadap hutan mangrove. Jika dulu dianggap sebagai tempat “kotor” dan tidak berguna, kini masyarakat Kokoda melihatnya sebagai ruang produktif dan suci. Mereka menyebut mangrove sebagai “ibu alam” yang memberi hidup. Simbolisasi ini bukan hanya bentuk rasa syukur, melainkan juga peneguhan identitas sosial mereka sebagai bagian dari lingkungan.
Berawal dari stigma kemudian berubah menjadi identitas. Keterbatasan pilihan dalam bekerja di sektor luar menggiring mereka untuk dapat berdamai dengan keadaan. Menggunakan perangkat pengetahuan yang dimiliki - dengan mengkombinasikan pengetahan lokal dan pemanfaatan sumber daya alam mangrove menggiring mereka untuk tetap dapat bertahan hidup di lingkungan urban.
Pengakuan dan Dukungan: Langkah Konkret Mewujudkan Green Jobs
Saya selalu mengkritisi definisi pekerjaan yang sesuai dengan visi keberlanjutan diartikan sebagai pekerjaan yang memerlukan penggunaan teknologi tinggi. Pekerjaan masyarakat Kokoda yang menjaga hutan, memanen secara selektif, dan hidup seimbang dengan alam adalah bentuk konkret dari green jobs berbasis pengetahuan lokal.
Pekerjaan berkelanjutan selalu merujuk pada beberapa program yang bersifat top down. Pengembangan program korporasi kepada masyarakat dan program bantuan pemerintah dengan jargon keberlanjutan selalu mengadaptasi keilmuan formal. Tidak mengedepankan pada aspek penggalian kekayaan pengetahuan masyarakat terkait hubungan alam dan manusia pada beberapa masyarakat yang menjunjung tinggi sikap berkelanjutan dan saling menghargai antar unsur biotik dan abiotik.
Pemerintah perlu memperluas definisi green jobs dan memberikan pengakuan formal terhadap praktik lokal seperti ini. Bentuk dukungan bisa berupa regulasi perlindungan akses terhadap mangrove, pelatihan berbasis komunitas, serta bantuan infrastruktur sederhana yang menunjang kegiatan ekonomi masyarakat.
Lebih dari itu, untuk konteks ini masyarakat seperti Kokoda harus dilibatkan dalam perencanaan pembangunan, terutama dalam tata kelola ruang pesisir. Program pelestarian budaya, insentif fiskal, dan kebijakan konservasi berbasis komunitas akan memperkuat ketahanan ekonomi mereka. Penggalian sumber daya alam kedepannya dapat dibarengi dengan kesepahaman yang dianut oleh masyarakat setempat.
Penting juga untuk mendorong keterlibatan lembaga pendidikan dan lembaga swadaya masyarakat dalam penguatan kapasitas masyarakat Kokoda. Pendidikan berbasis komunitas tentang konservasi, pertanian pesisir berkelanjutan, dan pengolahan hasil laut dapat menambah nilai ekonomi atas sumber daya yang sudah ada. Selain itu, pelatihan literasi digital dapat membuka akses mereka terhadap pasar yang lebih luas, baik nasional maupun internasional.
Pemerintah daerah, khususnya di Papua Barat Daya, dapat menjadikan praktik ekonomi masyarakat Kokoda sebagai bahan kebijakan daerah. Dukungan dapat berupa penetapan wilayah kelola rakyat, pelibatan dalam pengambilan keputusan tata ruang pesisir, hingga dukungan anggaran desa berbasis konservasi. Pendekatan ini akan menjembatani kesenjangan antara pelaku kebijakan dan masyarakat akar rumput.
Model ekonomi hijau berbasis masyarakat seperti yang dijalankan masyarakat Kokoda dapat menjadi model pembelajaran bagi daerah lain yang memiliki kawasan mangrove, seperti di Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat, atau Sumatera Utara. Apalagi di tengah tekanan proyek strategis nasional dan ekspansi industri ekstraktif, model seperti ini bisa menjadi alat pertahanan ekologis yang efektif.
Penting juga untuk memperkuat jembatan antara pengetahuan lokal dan sains modern. Kolaborasi antara masyarakat, peneliti, dan institusi pendidikan tinggi dapat memperkaya narasi konservasi yang tidak hanya berbasis data, tetapi juga berbasis pengalaman hidup dan kearifan lokal. Inilah bentuk pengakuan sejati terhadap masyarakat adat: tidak hanya melalui hukum, tapi juga melalui kemitraan pengetahuan.
Definisi Green Job bagi saya adalah pekerjaan yang mengedepankan rasa memiliki dan rasa simpati antar spesies. Terlepas dari penguasaan teknologi modern, kita perlu belajar dan mlihat lebih mendalam bagaimana cara hidup kelompok marjinal ditengah-tengah krisis yang mereka hadapi.
Melalui masyarakat Kokoda kita bisa belajar bagaimana pembangunan hijau yang bersifat keberlanjutan bisa tumbuh dari dasar lumpur dengan mengedepanan prinsip dasar pengetahuan lokal untuk memanfaatkan sumber daya alam—dibarengi dengan pemberian ruang dan pengakuan dari pihak pemerintah dalam menjunjung tinggi asas ekonom hijau berkelanjutan. Rasa keterikatan dengan alam diperlukan untuk dapat memahami sistem ekologis keberlanjutan. Melalui tulisan ini saya berharap dapat membuka mata kita secara lebar agar jangan menganggap sebelah mata masyarakat marjinal, dari mereka kita bisa belajar untuk menggagas hidup yang lebih baik dan selaras dengan alam agar kehidupan dunia tetap dalam keseimbangan.
Penulis: Riki Ari Pradana
Daftar Pustaka: