Articles

Kota Kembang yang Nyaris Terkubur Sampah: Dimana Peran Gen Z?

Sejumlah strategi dilakukan oleh anak muda untuk menekan timbulan sampah. Pelatihan jadi senjata utama.

"Terowongan Cibaduyut lahir ketika tanah sedang terendam"

atau

"Bandung Lautan Sampah"


Seringkali terdengar ketika berencana kembali menghantam Kota Bandung. Seluruh mata tertuju kepada Pemerintah Kota, tetapi apakah benar semua ini salahnya? Atau jangan-jangan kita anak muda yang katanya 'peduli' terlalu nyama jadi komentator digital? Cukupkan sekedar posting story dan cuitan pedas untuk membuktikan bahwa kita peduli pada persoalan sampah


Setidaknya sepanjang tahun 2024, cuitan-cuitan soal krisis sampah mulai ramai bermunculan setelah Kota Bandung ditetapkan sebagai kota "terkotor" ketiga setelah Kabupaten Bogor dan Bekasi. Kementerian Lingkungan Hidup mencatat terdapat 546,151,49 ton/tahun sampah yang dihasilkan sepanjang 2024.


Menjelang akhir tahun 2024, stigma "Bandung Kota Sampah" kian memanas. Sebuah video viral menunjukkan gunungan sampah di Pasar Induk Caringin. Tidak tanggung-tanggung, tumpukan sampah sebesar 4000 meter kubik menjadi "simbol" dan bukti demikianlah keadaannya.


Sorotan publik mulai tidak bisa dihindari, Pemerintah Kota Bandung langsung bergerak cepat, ultimatum dilayangkan kepada pengelola pasar: apabila dalam 14 hari tidak ada perubahan, maka izin operasional pasar akan dicabut, Hal ini tidak bisa lepas dari insiden kebakaran Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sarimukti pada Agustus 2023 silam. Sebelum kebakaran, pasar yang memproduksi sampah hingga 40ton ini mampu mengirimkan sekitar 8 ritase sampah ke TPA Sarimukti, namun kini hanya 3 ritase. Pengelolaan mandiri seperti pencacahan sampah dan pengkomposan telah dicoba, tapi hasilnya belum signifikan.


"Sampah yang menumpuk di Pasar Induk Caringin bukan hanya beasal dari pedagang," jelas Asep, pengelola pasar. "Kami sedang cek ulang bisa jadi masyarakat umum juga turut membuang sampah ke sini."


Cuitan Menjadi Tindakan

Ditengah kemelut ini, muncul satu pertanyaan. Seberapa pedulikah Gen-Z terhadap sampah? Apakah sekedar cuitan telah membuktikan dirinya peduli? Memang langkah ini dinilai mampu membangun kesadaran, tapi sepertinya tidak cukup kuat untuk mengklaim "kepedulian" itu.


Lahir antara tahun 1995 - 2010, gen Z menempati posisi strategis sekaligus dianggap memiliki sense of urgency tinggi terhadap isu global. Mereka dianggap juga cukup dewasa untuk mengambil peran, masih muda untuk berubah, dan cukup "digital" untuk menyebarkan aksinya. Namun, apakah kesadaran ini sebanding dengan aksi yang mereka lakukan?


Laporan "Young Generation and Zero Waste Movement" yang dirilis oleh Jakpat pada tahun 2023 menunjukkan bahwa 78% anak muda tertarik menerapkan prinsip zero waste. Alasan utamanya adalah untuk menjaga dan melestarikan bumi (94%), serta ebagai bekal untuk generasi mendatang (48%) . Sayangnya, hanya 16% yang benar-benar melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Hambatannya? fasilitas pengelolaan sampah yang kurang memadai dan kurangnya dukungan dari lingkungan sekitar.


Temuan ini diperkuat dengan laporan di The Times yang mengungkap bahwa meskipun Gen-Z dianggap sebagai generasi paling sadar lingkungan, mereka justru menjadi kelompok yang paling sedikit mendaur ulang. Sebanyak 92% dari mereka mengaku membuang sampah yang seharusnya didaur ulang karena merasa malas atau bingung tentang cara melakukan yang benar.


Fakta ini menunjukkan bahwa Gen-Z sebenarnya bukan tidak peduli, tetapi belum cukup difasilitasi, yang mereka butuhkan adalah dorongan, edukasi, dan fasilitas yang mendukung.


GENIUS: Generasi Inovatif untuk Siap Kerja

Satu hal yang mungkin belum banyak diketahui: sampah organik adalah penyumbang terbesar dari total sampah domestik di Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup mencatat bahwa 39,26% dari total timbulan sampah adalah sisa makanan. Jika dikelola secara tepat, maka limbah organik tersebut memiliki potensi besar dalam mendukung ekonomi sirkular, seperti pembuatan pupuk organik sebagai bahan komplementer pertanian. Sayangnya, tidak semua orang tahu caranya.


Menjawab tantangan ini, program GENIUS hadir sebagai angin segar. Inisiatif kolaboratif antara Inovasi Muda dan BBPVP Bandung ini dirancang untuk mendorong anak muda menjadi pelaku perubahan di sektor pengelolaan sampah dan green jobs.


Pelatihan ini dilaksanakan pada tanggal 4-19 Februari 2025 di Sekolah Kang Pisman dan Jasmine Integrated Farming Kota Bandung. Program ini bertujuan mengembangkan keterampilan pengelolaan sampah, menciptakan peluang kerja hijau, dan memperluas kesadaran serta partisipasi anak muda terhadap isu lingkungan.


Melalui kerja sama dengan 10 pemangku kepentingan, mulai dari instruktur pelatihan, institusi pemerintah, dan bank sampah, kegiatan ini berhasil menjaring 80 peserta pelatihan dari berbagai latar belakang pendidikan, mulai dari SMA hingga Strata II. Melalui pelatihan selama 2 minggu ini, pemuda dibagi menjadi 2 kelas utama dan diajarkan berbagai keterampilan pengelolaan sampah.

  1. Kelas pertama fokus pada:
  2. Pemahaman dasar mengenai Sistem Manajemen Keselamatan, Kesehatan Kerja, dan Lingkungan (SMK3L),
  3. Persiapan menghadapi dunia kerja berbasis lingkungan.
  4. Praktik langsung daur ulang sampah organik hingga tahap pengemasan kompos.
  5. Sementara pada kelas kedua, memperluas materi pada:
  6. Inventarisasi jenis-jenis sampah,
  7. Pengolahan limbah rumah tangga menjadi produk bernilai guna seperti MOL (Mikroorganisme Lokal), eco-enzyme, lilin aromaterapi, POC (pupuk organik cair), briket bahan bakar, hingga kompos.

Pelatihan ini mengajak peserta untuk tak hanya memahami teori, tetapi juga mampu menghasilkan solusi konkret dari sampah yang selama ini dianggap sisa tak berguna.


Hasilnya, para peserta mulai tergerak menciptakan berbagai inovasi unik di wilayahnya masing-masing—mulai dari pendirian bank sampah digital hingga pengembangan proyek sekolah berbasis pengelolaan sampah. Selain itu, pelatihan ini juga membuka ruang kolaborasi antarpeserta, karena tidak hanya diikuti oleh fresh graduate, tetapi juga oleh founder wirausaha sosial yang aktif di bidang lingkungan. Di akhir, seluruh peserta difasilitasi agar terserap dalam pasar kerja.

Yang Mereka Butuhin Cuman Satu: Kesempatan

Apa yang bisa kita simpulkan dari ini semua?


Gen-Z membuktikan bahwa mereka memiliki ide dan semangat untuk bertindak. Program GENIUS membuktikan bahwa ketika anak muda difasilitasi, diajarkan, dan didorong, mereka tidak hanya belajar, tapi juga mencipta. Mereka tidak hanya menyerap teori, tapi mulai menggerakkan solusi.


Bukan lagi tidak mungkin, bahwa “tangan-tangan” yang dianggap apatis ini dapat melahirkan wajah kota yang baru dan lebih bersih di masa depan.


Penulis: Roichan Rochmadi I